Kamis, 16 Mei 2013

PULANG oleh LEILA S. CHUDORI

Sejak tiga hari yang lalu saya sibuk dengan sebuah novel karya Leila S. Chudori berjudul Pulang. Novel ini direkomendasikan seorang kawan, Oli, ketika kami (dan beberapa teman kuliah) mampir di kosan Pinka dan berbicara ke sana ke mari (topik utama: setiap wanita harus mengenal dirinya lebih dahulu, luar dan dalam, agar mampu memuaskan dan dipuaskan). Novel ini muncul di sela-sela cerocosan saya mengenai betapa luar biasanya tetralogi Pulau Buru oleh Pramoedya Ananta Toer (saya belum baca semua sih, baru Bumi Manusia dan 75% Anak Semua Bangsa dan satu buku lain; Gadis Pantai)

'Pulang' merupakan salah satu karya sastra Indonesia terbaik yang pernah saya baca hingga hari ini. Setiap lembar demi lembar membuat saya tenggelam dalam kisah yang sebagian besar dilatarbelakangi peristiwa-peristiwa bersejarah di Indonesia: Indonesia 30 September 1965 dan Indonesia Mei 1998. Dua kejadian bersejarah yang menonjolkan posisi superior pemerintah yang saat itu dipimpin oleh orang yang sama. Ketika membaca buku ini, satu pertanyaan terlintas dalam pikiran saya, "Bagaimana kejadian yang sebenarnya?".

Gerakan 30 September 1965
Saya ingat, ketika masih kecil dan keluarga kami baru membeli seperangkat televisi dan VCD Player, ayah saya memutar sebuah film, bukan film dokumenter, tetapi di awal sekali dituliskan bahwa isi fiilm ini merupakan sebuah kisah nyata. Saat itu, tetangga-tetangga berdatangan, tua-muda, laki-laki-perempuan. Semua menyerbu rumah kami (Kalau tidak salah kejadiannya sekitar awal Oktober). Kebetulan jumlah rumah yang memiliki televisi masih bisa dihitung dengan satu tangan. Saya sendiri membiasakan diri dengan rumah yang hampir tiap malam selalu penuh.
Film itu berkisah tentang pemberantasan gerakan PKI di Blitar. Hanya sedikit adegan yang bisa saya ingat. Setelah sekian lama, hanya 'Pulang' yang membawakan ingatan itu kembali. (Otak dan memori manusia sangat luar biasa kan? Bagaimana mungkin film yang hanya kutonton sekali dua kali ketika masih bocah, tiba-tiba muncul kembali di usia hampir 22 tahun?? HEBAT!!) 
Dalam film tersebut, pemerintah merupakan pahlawan, yang menyelamatkan kami (warganya) dari sebuah gerakan yang sangat berbahaya. (Saya tidak yakin karena tahun itu, baru calon ayah dan ibu saya yang sudah lahir. Saya? Masih berada di langit)

Kemudian ingatan saya terbang ke masa SMP. Kelas 3 SMP di sebuah ruang kelas di derah Kelapa Dua, Depok, guru sejarah saya dengan berapi-api menjelaskan bab seputar kejadian September 1965. Kami bahkan disuruh menghafalkan tujuh pahlawan revolusi, termasuk jasa-jasa mereka dan bagaimana mereka tewas. Waktu itu saya takut dan benci. Muncul pertanyaan-pertanyaan. Kenapa mereka tega? Kenapa mereka sejahat itu? Kenapa, kenapa dan kenapa. Kemudian muncul rasa bangga kepada  perwira (dan pemerintah) yang mengorbankan diri untuk 'menyelamatkan' Indonesia.

Mei 1998/ Tragedi Trisakti
Empat hari yang lalu akun twitter Kontras dan Panji Pragiwaksono berkicau seputar kejadian pada 12 Mei 1998. Intinya, meninggalnya empat mahasiswa Trisakti akibat tembakan peluru aparat (pengaman) rakyat dan sikap pemerintah untuk 'menenangkan' para pengunjuk rasa melalui barisan tentara. Ketika Jakarta heboh dan hancur, kami di kampung sedang menanti-nanti panen padi. Saya benar-benar tidak tahu, kalau di Indonesia (Jakarta) pernah terjadi kekacauan separah itu. Saya juga tidak ingat kapan persisnya untuk pertama kali saya tahu kejadian ini. Kicauan Kontras dan cuplikan tragedi Trisakti dalam Pulang membuat bulu kuduk saya merinding. SERIUS!!

Dua peristiwa di atas adalah salah satu alasan kenapa saya menyukai buku ini. Pengetahuan baru dan pertanyaan baru. Beberapa tahun sebelum ini, apa yang saya lihat di film, saya baca di buku sejarah dan saya dengarkan dari guru mengenai Gerakan 30/September saya anggap sebagai sejarah yang sebenarnya. "Sejarah tergantung pada siapa penulisnya" memang benar. Sejarah Indonesia yang ditulis oleh sebagian orang belum tentu merupakan sebuah kebenaran yang harus selalu di-iya-kan. 
Tragedi Trisakti tidak ditulis dalam buku sejarah tidak berarti kejadian itu tidak pernah ada kan?

Alurnya yang jungkir balik memaksa saya agar selalu memperhatikan setiap tahun yang dicantumkan. Kemarin, saya sempat lupa dan akhirnya saya buka lagi beberapa halaman ke belakang agar bisa menangkap cerita dan mengerti jalannya. Karena saya enggan harus membaca lagi bagian bagian yang sudah saya baca (dan sangat penasaran apa yang akan terjadi di lembaran berikut), saya lanjutkan membaca, namun baru satu halaman saya balik lagi ke belakang karena hati tidak tenang. Terus maju padahal ada yang belum jelas di lembaran belakang. Selama 3 hari buku ini saya bawa kemana-mana. Saya baca setiap ada kesempatan. Selalu ada dalam tas, sehingga beberapa bagian mulai lecek. 

Isi setiap bab konsisten dengan judul babnya. Jadi, saya benar-benar fokus dari awal bab. Misal, di bab berjudul Ekalaya berfokus pada Ekalaya, satu tokoh dalam pewayangan, meskipun tetap ada tambahan lain. Oh iya, ini juga yang saya suka dari buku ini; kisah Ekalaya dan Arjuna. Bab ini memaksa saya segera mencari sumber-sumber tentang wayang, baik tokoh, cerita, dll. Saya penasaran, apakah cerita wayang yang lain sedahsyat kisah Ekalaya-Arjuna?

Saya seperti masuk dalam cerita dan menjelma menjadi setiapa tokoh. Inilah yang saya suka ketika membaca. Saya bebas menerjemahkan makna, membentuk tokoh dan seolah-olah menjadi tokoh di dalamnya. Inilah penyebab salah satu kekecewaan saya ketika novel Harry Potter and the Deathly Hallows difilmkan. Tokoh Dolores Umbridge dalam film tidak sesuai dengan Dolores Umbridge dalam pikiran saya ketika membaca novel. Heheh,.
 
Ada satu pesan Oli ketika buku ini baru beberapa detik berada di tangan saya, "jangan kelipat ya!" dan sekarang ada beberapa bagian yang telipat (kecil dan besar) karena semalam saya ketiduran dan keesokan harinya, 'Pulang' berada di bawah punggungku. Ketindihan dia. Terima kasih Oli, buku ini sangat bagus!!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar