Sabtu, 31 Agustus 2013

Mata Indah Bola Pimpong

Aku dan dia adalah sepasang sahabat. Bukan, bukan sahabat. Kami kawan. Menurutku, kawan itu lebih dari sekedar teman tapi belum sampai ke tahap sahabat. Kawan itu penuh petualangan dan manis. Tetapi, dia menganggapku sahabat. Aku menganggukan kepala dan senyum manis membingkai wajahku ketika dia memanggilku sahabat. Rasanya melayang di antara gumpalan awan selembut kapas, namun kakiku tetap berpijak di atas hamparan rumput gajah yang semakin menghijau di awal musim penghujan.

Pertemuan pertama kami selalu kusimpan rapat di dalam kepala dan hatiku. Jumpa pertama di sekolahnya. Sebuah sekolah dasar yang letaknya persis di samping gereja. Sekolah yang akhirnya menjadi sekolahku juga karena kuputuskan pindah ke situ satu tahun sebelum lulus pendidikan dasar. Bukan karena dia. Tentu saja bukan, melainkan karena kepongahan orang dewasa yang membuat si bocah cilik harus memutuskan jalannya sendiri. Ah, untuk apa membicarakan orang dewasa?

&&&

Kala itu aku dan dia mengikuti sebuah lomba cerdas cermat. Jangan salah, itu merupakan lomba paling bergengsi tingkat sekolah dasar di daerah kami. Bayangkan, pemenangnya bisa mengikuti lomba ke tingkat kabupaten dan mendapat hadiah empat buku dan dua pulpen yang diberikan langsung oleh Pak Camat!! Bisakah kau rasakan desiran darahku ketika kuceritakan hadiah yang menggoda itu?

Aku dan tiga teman, perwakilan dari sekolah kami, menggila. Dari sepuluh sekolah yang bertarung di tingkat kecamatan, hanya satu sekolah yang lolos ke tahap selanjtnya, yaitu seleksi tingkat kabupaten. Dan pemenang itu adalah kami. Kami berempat berhasil mengalahkan sekolah-sekolah lain. Termasuk dia dan sekolahnya. Kukalahkan kau. Egoku memuncak membayangkan dia  dan teman-temannya kalah dari kami. Mereka sekolah di kecamatan, padahal kami dari desa. Rasakan, ucapku dalam hati. Kau harus berhati-hati. Kau akan melihatku karena aku sudah melihatmu lebih dulu.

&&&

Aku memperhatikan dia. Caranya berlari, menggiring bola, mencetak gol dan merayakan setiap gol yang berhasil dia ciptakan. Wajahnya, masih sama. Senyumnya juga. Kutenggelamkan diri dalam rangkaian huruf, membentuk deretan kata dan rangkaian baris. Cantik. Setiap baris yang kubaca menciptakan rasa yang berbeda. Aku belum mengerti tapi rasa itu, menenangkan. Sesekali kulayangkan pandang, kusapu seluruh lapangan dengan harapan akan menemukan sosok yang kucari.

Sial!! Sesuatu menimpa kepalaku. Bentuknya seperti, bola!! Segera kuambil dan bersiap untuk memuntahkan sumpah serapah pada orang-orang yang tidak becus menjaga bolanya. Kubalikkan badanku dan kulihat dia berlari ke arahku. Seketika caci maki tidak berani berloncatan dari mulutku. Bibirku mengatup terkunci rapat. Dia semakin mendekat dan berdiri di depanku. Matanya menatap mataku. Dia tersenyum, meminta bolanya kembali, mengucap maaf dan memintaku melakukan sesuatu agar kuberikan maafku. Apa? Setengah sadar kuayunkan tangan kanan dan mendarat di kepalanya. Sebuah jitakan yang cepat dan tepat. Dia mengaduh. Aku tahu, dia berpura-pura. Sebelum berlalu dia tanyakan, apakah aku akan sekolah di sini dan apakah aku dulu pernah ikut lomba cerdas cermat mewakili sekolah Y? Iya. Singkat dan padat. Dia ingat.

&&&

Aku dan hidupku sangat istimewa. Kubiarkan takdir membawa kami ke tempat-tempat baru. Kulakukan yang terbaik di setiap persinggahan. Kesempatan yang lewat segera kuambil. Hasil akhir, biarkan Yang Maha Esa yang mengaturnya untukku.
Satu setengah tahun di tingkat menengah, itu berarti dua tahun sudah aku dan dia berkawan. Ada beberapa gadis yang menaruh hati padanya. Aku tidak pernah ingin tahu bagaimana kelanjutannya. Sesekali kubiarkan dia dan dunianya.

Waktunya pun tiba. Itu dia. Aku harus segera berkemas. Keretaku sudah menunggu. Sirine kereta meraung-raung memaksaku segera ucapkan selamat tinggal. Iya, baiklah. Kulakukan dengan cepat. Lambaian tangan dan doa. Dalam dan berarti. Tidak ada yang berbeda. Kuperlakukan dia sama seperti yang lain. Hanya saja, dia kawan, sementara yang lain teman.Selamat tinggal kawan! Kelak kita akan berjumpa kembali atau mungkin saling melupakan.Bukan hanya kau yang kutinggalkan. Ayah, Ibu, keempat saudaraku dan kampungku juga kutinggal. Banyak yang ingin kumengerti karena dunia tidak terbatas pada hamparan hutan lebat di kampung kita atau aliran sungai di belakang rumah kami.

&&&

Seminggu yang lalu. Ketika aku sibuk dengan makalah semester pendek. Malam semakin larut, menjelang tengah malah. Meskipun suara kendaraan masih sambung menyambung di ujung jalan, tetap saja. Malam adalah malam. Kurayu mata dan badan agar tetap terjaga. Selesaikan apa yang harus kita selesaikan lalu istirahat dan bermimpi yang indah. Mungkin, dia akan mampir malam ini.

Jejaring sosial yang semakin lama semakin basi menggodaku. Katanya, sebentar saja untuk menyegarkan mata dan melemaskan punggungmu. Aku menurut. Beruntungnya aku. Tidak perlu kutunggu malam atau mimpi karena dia ada di sana. Ku sapa dan dia off. WOW!! Aku malu dan ragu. Kuputuskan untuk kembali ke tugasku. Bergulat dengan makalah sebuah mata kuliah yang turut andil dalam menunda kelulusanku. Aku menyalahkan sebuah mata kuliah untuk kegagalanku. Aku malu. Hanya dalam hitungan menit dua kali sudah kurasakan malu.

Aku tarik nafas dalam-dalam. Kupejamkan mata sekejap lalu  kupusatkan semua pikiran dan energi yang tersisa untuk menyelesaikan tugas ini secepatnya. 15 menit berjalan dengan sangat lancar. Terlalu mulus hingga muncul sedikit rasa khawatir dalam hatiku. Apa yang akan terjadi?

Zzz..zzz.. ponselku bergetar. Sebuah pesan singkat baru saja masuk. Dari siapa ya? Kuraih ponsel yang sudah beberapa jam hanya tergeletak di samping layar komputer. Namanya tertera di sana. Dia yang tadi mengabaikan ketika kusapa, sekarang malah mengirimiku ssebuah pesan? Sesuatu yang lebih personal dari sekedar sapaan di jejaring sosial. Sesuatu yang dikirimkan langsung ke nomorku. Berapa lama waktu yang dia butuhkan untuk menemukan namaku di daftar kontaknya?Ah, aku terlalu mendramatisir.

Dia minta maaf karena sinyal internet di daerahnya tidak bagus. Di akhir pesan, dia menanyakan kabarku. Berarti dia ingin melanjutkan pembicaraan singkat ini. Aku jawab semua yang dia tanyakan dengan gayaku  dan sesekali kubalas dengan akhir tanda tanya. Tidak buruk. Kami kembali ke masa kanak-kanak, di sekolah dekat gereja. Dia bilang aku membuatnya tertawa. Mungkin bukan 100 % aku. Hey, itu hanya kallimat-kalimat pendek dan menurutmu itu membuatmu tertawa? Baiklah, semua orang butuh tawa, baik tawanya sendiri atau sekedar tawa orang lain. Aku senang bisa memberikan kebutuhan itu padamu.

"Sya, coba dengarkan lagu Iwan Fals, judulnya mata indah bola pimpong," itu pesan terakhir darimu  di malam itu. Aku belum pernah mendengar lagu ini. Aku penasaran. Lalu kucari dan kudengarkan lirik-liriknya.

Satu pertanyaan yang terbesit di pikiranku adalah, "Kenapa kau memintaku mendengarkan lagu ini?" Sudah kuketik. Tinggal kutekan send dan akan kudapatkan jawaban. Kubaca sekali lagi, lalu kuhapus. Kuketik sekali lagi.

Lagunya bagus. Liriknya juga. Kau gunakan ini untuk merayu pacar? :D

Sepuluh menit berlalu dan tidak ada jawab. Kuputuskan untuk berhenti menunggu. Kurapikan tugasku dan beranjak tidur.

Kawan. tetaplah kawan. Kita memulainya sebagai kawan dan mungkin akan berakhir sebagai kawan. Kulupakan malam itu. Kuhapus sisa-sisa obrolan kita. Apa pun yang aku atau kau rasakan malam itu. biarlah menjadi bumbu penambah nikmat perkawanan ini. Mungkin dalam bahasamu, persahabatan.