Rabu, 12 Juni 2013

Aku dan pikiranku

Aku dengar mereka mau main bersama. Bukan hanya mereka berdua, tapi kawan-kawan yang lain juga. Wah, sepertinya seru tuh. Boleh ikut tidak ya? Eits, sebelum ikut-ikutan ada baiknya cek-cek 1,2,3 dulu. Mereka mau kemana? Sama siapa saja? Apa yang akan mereka lakukan dan kapan?

Ah, iya. Sayang sekali. Ternyata mereka tergabung dalam sebuah kelompok dan namaku tidak tercantum dalam daftar hadir mereka. Dulu memang namaku pernah kutulis di sana, sebelum akhirnya aku keluar karena wajahku akan berubah menjadi seperti mayat hidup setiap kali berhadapan dengan pemimpin mereka. Jangankan dalam acara kelompok, berpapasan di pinggir jalan pun aku enggan menyunggingkan senyum. Untukku, dia seorang pelawak gagal.

Akan tetapi, tidak untuk mereka. Mereka melihatnya seperti dewa, apalagi ketika dia sedang menutup mulut dan berdiri tegap  menyamping, lengkap dengan kemeja, jeans, dan sepatu hitam andalannya. Mereka memujanya. Membicarakannya terus menerus dan saling menimpali bila topik mengenai dia muncul. Jangan melirikku dengan sudut matamu yang hampir membuatku membeku. Jangan kau pikir aku aneh karena pikiranku tentang dia berbeda dengan mereka. Ada baiknya kau dengarkan mereka.  Bagi kawan-kawan ini, dia hanyalah objek. Bahan untuk diangkat lalu dihempaskan, dicela, diejek dan diinjak-injak oleh rangkaian kata yang berloncatan dari mulut yang kepanasan. Haha, kasihan dia.

Aku tidak mau. Aku putuskan lari dari kelompok di hari pertama dia masuk. Itulah yang kulakukan. Aku urungkan niatku. Aku tidak mau main bersama mereka. Terlalu susah untukku seolah-olah menikmati padahal tidak.

Dan, mereka berdua akan bertemu di sana. Mereka akan menyendok nasi dari satu bakul, duduk di atas satu tikar, mungkin, mereka akan duduk berhadapan. Apakah mereka akan saling menyapa? Siapa yang memulai? Aku penasaran setengah mati. Bagaimana mereka berdua mengakhiri konflik itu dan bergabung dalam satu kelompok pecinta seorang pelawak gila?? Oh Tuhan, kau benar-benar pintar memainkan kami.

Kawanan lain dalam kelompok memainkan peran masing-masing. Lupakan kalau mereka berdua pernah saling membenci. Lupakan itu! Jangan pernah ada mulut yang ingin bernostalgia ke masa itu. Jangan. Kita hanya harus mengunyah makanan dan menggosipi dewa kita. Pandangan kita tidak boleh tertuju pada mereka berdua. Mereka mungkin akan merasa dicurigai. Meskipun sebenarnya kita juga penasaran setengah mati, tapi kita harus menguburnya. Kita akan tanyakan pada salah satu dari mereka berdua setelah kelompok ini mati. Mati?? Jangan pura-pura bodoh. Kau dan aku. Kita tahu suatu hari kelompok ini akan mati. Semua yang dibangun di atas dusta akan mati. Kita juga kan?

&&&

Setelah semua yang terjadi. Mereka berdua kembali. Setelah seonggok daging berhati picik sempat mengacaukan mereka?? Ya. Aku kagum. Sikapku berlebihan. Siapa aku mencemaskan mereka berdua? Mungkin kisah pahit itu sudah hilang bersama hilangnya seonggok daging berhati picik. Tuhan saja tidak mengkhawatirkan mereka. Buktinya, mereka dilukis dalam satu pigura. Makan, main, tertawa dan gossip. Tetapi, bisa saja mereka berpura-pura, siapa yang tahu hati manusia??

Bagaimana denganmu? Apa yang kau lakukan ini? Kau kan tidak tahu isi hati mereka berdua. Kau mengacaukan hidupmu dengan membuat hidup orang lain kacau, walau hanya dalam kepalamu yang sama kacaunya. Hahahaha, kau bodoh. Hentikan mencemaskan hidupmu dan hidup mereka.


Senin, 10 Juni 2013

Jalan-jalan ke Yogyakarta :)

Akhirnya, keinginan tanggal 21 Januari lalu terwujud. Tidak sepenuhnya sih, karena tujuan paling utama justru tidak tercapai. Beberapa bulan lalu  dalam perjalanan pulang dari Medan ke Jakarta, saya membaca sebuah kalender event-event budaya Indonesia. (Judulnya beneran event BUDAYA loh, bukan agama atau religi). Dari sekian banyak acara yang akan digelar selama tahun 2013, hanya yang satu ini yang menurut saya mudah dijangkau, dari segi jarak maupun finansial. Acara Waisak di kawasan candi Mendut-Borobudur, namun yang paling berkilau di mata dan kepala saya adalah acara pelepasan ribuan lampion di candi Borobudur.

Nah, akhirnya keinginan ini pun tercapai, meskipun tidak 100%. Awalnya, hanya saya dan Pinka yang akan pergi, tapi kira-kira sebulan sebelum berangkat Ika dan Gege bergabung. Saya sendiri bersemangat banget soalnya, ini akan jadi perjalanan perdana, perdana naik kereta ke luar kota, kunjungan perdana ke candi Borobudur dan pertama kali liburan bareng Ika, Pinka dan Gege.

Jumat, 24 Mei 2013

Kami berangkat dari stasiun Jakarta Kota pukul 11.30 dan tiba di stasiun Lempuyangan sekitar pukul 22.00. Kami naik kereta ke Surabaya karena tujuan Jogja sudah habis terjual. Suasana sepanjang perjalanan menyenangkan. Kami duduk di gerbong 4, berjarak 1 set kursi dari toilet. Di sebelah kami ada cowok chinese berT-shirt kuning, celana kotak-kotak,sandal jepit hitam dan tas ransel hitam. Saya lihat dia sendirian saja, jadi saya pikir nanti akan numpang tidur di kursi di depannya. Tapi, ga jadi karena 5 menit sebelum kereta berangkat kursi itu tidak kosong lagi. Seorang pria berusia sekitar 45-an duduk di sana dan segera terlibat obrolan asik dengan cowok bersandal jepit.

Aku duduk dekat jendela berhadapan dengan Gege. Pinka duduk di sebelahku dan Ika di samping Gege. Obrolan kami seputar hal-hal yang sering dijumpai sehari-hari. Agama, konstruksi sosial di masyarakat, FPI, babi, bir, anggur, dll. Di perjalanan pulang akan terungkap sebuah fakta antara Gege dan babi. hahahaa. Teman-teman saya ini sepertinya penasaran dengan babi. Mereka terpesona dengan cerita saya tentang babi-babi kami di kampung. Mungkin mereka perlu melihat babi secara langsung, bukan babi-babian berwarna pink yang dijual di toko-toko. Heran juga, kenapa ada orang suka babi-babian?? Saya suka babi hanya karena rasanya yang enak, bukan lucu. Apa lucunya babi??

12 jam kemudian, awake dhewe tekan stasiun Lempuyangan ing Jogjakarta. Saka stasiun awake dhewe numpak taksi menyang penginapan, mess TNI AL. *terimakasih untuk kelas sastra jawa dasar*. Kami bisa nginap di sini karena papanya Gege punya kenalan dari AL. Gege menyebutkan nama seseoarang dan kami segera diantar ke kamar. Kamrnya besar dan nyaman. Ada AC, kamar mandi (ada air panasnya juga), TV, kulkas (tidak dipergunakan karena ga punya apa-apa untuk disimpan di kulkas, hiks), handuk, peralatan mandi dan lemari.

 

Penginapan


Begitu masuk kamar, saya langsung mandi. Badan sudah lengket-lengket, muka penuh minyak, dan rambut pun lepek. Selesai madi, temannya Ika sudah menunggu. Jadi, kami ditemani temannya Ika selama di jogja. Kami diantar kemana-mana dan dibawa ke tempat seru. Awalnya merasa ga enak karena takut ngerepotin. Tapi, kata dia, selow aja. Dia juga mau sekalian liburan. Anaknya asik, seru dan jayus -_-. Namanya Makur. Kami sering salah manggil namanya. Matur, Makrur, Matre (jadi clue nya ada hruf  m dan r, spontan Gege bilang Matre, ckckck), yang terakhir adalah, Marco (ini dari gue, dan sampai pulang aku manggil dia Marco).

Pertama kali ketemu Makkur  aku bilang mau makan gudeg, persis seperti yang dibawa nantulang dari Jogja bulan maret lalu. Aku jelasin rasa dan warnanya. Terus, dia bawa kita ke Gudeg Sagan. Kata Makkur, ini tempat jual gudeg terenak di Yogja, karena rasanya pas untuk semua lidah. *alah* Malam sudah larut. Gudeg pun mulai habis. Malam itu, kami makan gudeg dengan nasi, telor dan krecek karena ayam nya sudah habis. Warnya sih sama dengan yang aku bayangin, pas dimakan, yes!! rasanya juga sama. Sama-sama enak. Marco nanya, sesuai espektasiku atau enggak. Aku bilang sesuai banget, tapi kreceknya pedas. Gudeg ini enak banget!!Penasaran nomor 1 terpenuhi: makan gudeg enak (enak versi saya) di Yogja.

Gudeg Sagan


Setelah makan gudeg, kami bergerak ke Tugu. Tugu ini merupakan salah satu landmark Yogyakarta. Terletak persis di tengah perempatan Jl. Jenderal Sudirman dan Jl. Pangeran Mangkubumi. Makkur bilang, lagi rame banget nih. Aku bilang, tidak ramai. Ini nih satu hal menarik buat saya, apa yang Makkur bilang ramai, buat saya tidak ramai. Mungkin karena saya membandingkan dengan Jakarta atau Depok lah. Dimana ramai itu artinya, tidak bisa melihat benda berjarak 1 meter dari kita karena sudah ketutupan orang. Setiap mengunjungi tempat ramai versi Makkur, saya tenang-tenang saja. Kecuali kawasan candi pas Waisak ya, itu mah udah mutlak ramai.

Tugu Pal Putih


Kalau ke Tugu lagi harus hati-hati ya karena mobil-mobil dari empat sisi lalu lalang. Kalau mau nyebrang perhatikan lampu lalu lintas dengan benar. Jangan asal nyebrang ya. Di sini kami berfoto-foto ria. Ada mas-mas bercelana pendek dan memakai blankon yang dengan senang hati mau memotret kami. Mas nya oke banget. Dia tidak keberatan jongkok, mundur, maju, setengah berdiri, dan bergerak ke sana ke mari agar bisa mendapat foro yang bagus. Padahal kamera kami hanya kamera digital biasa bukan XLR dan sejenisnya. Kerja keras mas nya ga sia-sia, jepretannya bagus-bagus loh. Dia juga ramah, katanya, sebagai warga lokal, kami harus baik ke turis. Hahaha, disebut turis, saya merasa wow gimana gitu. "Ke sini lagi ya," pesan si mas. Kami mengiyakan, lalu berjalan ke mobilnya Makkur untuk melanjutkan tur malam hari kami. Penasaran nomor 2 terpenuhi: Foto-foto dan melihat Tugu Pal Putih yang sering muncul di FTV dan audisi acara pencarian bakat.

Tujuan berikutnya adalah Universitas Gadjah Mada. Wisata ala kami anti mainstream banget kan? hahaha :D Biasanya orang jalan-jalan ke Yogja ya, pasti ke Malioboro. Kami malah ke UGM, wisata pelajar nih. Kami bahkan ga ke Malioboro, hanya lewat. Oke. Siapa pun boleh masuk ke UGM. Bebas. Tanpa bayar. Bahkan tanpa uang parkir. Dulu sempat pake bayar karena bis dan angkot masuk kampus hanya untuk mutar balik, jadi bikin kacau. Tapi, mahasiswa menolak bayar-bayaran ini, akhirnya digratisin lagi. Aku lupa nanya, sekarang bis dan angkot masih masuk atau ga.

Awalnya, aku kira UGM itu ada beberapa kawasan ternyata enggak. UGM itu hanya satu area, tapi memang ada jalan besar melintas di area UGM. Kesannya, UGM itu ada dua area. Kami keliling-keliling kampus. Ada info baru mengenai rektorat UGM. Rektorat ini didesain oleh orang Rusia. Ceritanya, untuk menunjukkan hubungan baik antara Soekarno/Indonesia dan Rusia. Di UGM itu, filsafat memiliki fakultas sendiri, yaitu Fakultas Filsafat. Beda dengan UI, filsafat masuk ke fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Di UGM sendiri fakultas yang sama bernama Fakultas Ilmu Budaya (tanpa Pengetahuan). Singkatannya jadi lebih pas sih.

Setelah itu, kami ke alun-alun Yogyakarta. Tempat ini sangat terkenal. Tempat gaul anak-anak Yogya. Sebagai ruang publik, bukan hanya anak-anak muda yang main di sini.. Semua orang ada, dari anak kecil sampai kalangan sepuh. Ada angkringan juga. Tadinya makan nasi kucing di angkringan masuk dalam 'daftar penasaran' sih, tapi sejak baca artikel kalau makan angkringan bisa tertular penyakit hepatitis soalnya ada beberapa penjual yang peralatan dan bahan makanannya kurang bersih (saya pakai 'kurang' bukan 'tidak', siapa yang bisa menjamin kalau makanan yang saya makan setiap hari benar-benar bersih?), nyoba makan di angkringan pun tidak membuat saya penasaran lagi. Bukannya menghakimi tanpa mencoba. Saya hanya bersikap waspada. Lagipula, (fakta) itu bisa dipercaya ko. Di kantin kampus, saya sering menemukan yang kotor-kotor. Selain itu, harga makanan di Yogya tidak menguras dompet ko. Makan di angkringan segera dihapus dari daftar kira-kira 3 minggu sebelum berangkat.

Turun dari mobil saya melempar pandangan ke seantero alun-alun. Mana pohon kembarnya? (Saya menyebut pohon beringin itu sebagai pohon kembar. Ke Makkur, saya bilang, "Kur, aku mau lihat pohon kembar (atau dempet, saya lupa) kaya gini." Sembari mengangkat tangan persis di samping kanan dan kiri muka saya. Posisi telapak tangan berhadapan). Kebetulan mobil Makkur diparkir di sebelah kiri, dari arah situ yang terlihat hanya satu pohon karena posisinya berada di satu garis lurus. Setelah berjalan seperempat putaran saya bisa melihat kedua pohon dengan jelas. Mereka berdua dikandangi. Mungkin untuk menjaga, agar tidak ada yang duduk persis di bawah pohon (nanti bisa-bisa muncul tulisan-tulisan sejenis "A was here" kan ga lucu). Saya mencari-cari kain kecil untuk menutup mata. Apakah yang akan saya lakukan??

Apa lagi kalau bukan menutup mata, mengucap harapan, berjalan melewati kedua pohon beringin dan berharap langkah saya tidak melenceng kemana-mana. Karena tidak ada kain, Makkur menyewa kain penutup mata dan memberikan ke saya. Terima kasih Makkur. Saya tidak tau kalau ada rental kain penutup mata. Saya mencoba permainan ini tiga kali. Yang pertama tidak berhasil. Yang kedua, saya berhenti sebelum sampai dan membuka mata sehingga harus ngulang lagi dari awal. Itu karena sebelum mulai, Makkur bilang, "Hati-hati loh, nanti ada yang narik". Ketika saya tanya, dia tidak mau memperjelas. Kan saya jadi parno. Apalgi, tiba-tiba saya mencium bau kemenyan. Otomatis, saya langsung membuka kain penutup mata. Takut juga sih, kalau tiba-tiba saya sudah di alam mana gitu. Ternyata, Gege dan Ika juga mencium bau yang sama. -_- Imajinasi yang berlebihan.
Ketiga kali, saya pun berhasil. Jurinya, Ika dan Gege. Yes!! Ada mitos, kalau berhasil melewati kedua pohon dengan mata tertutp harapannya terkabul. Amin. Tapi, itu seru!! Penasaran nomor 3 terpenuhi: berjalan melalui dua pohon beringin di alun-alun Yogya. Penasaran ini muncul ketika saya menonton acara Ceriwis di Trans TV beberapa tahun lalu. Hahaha :D

Dalam semalam tiga penasaran terpenuhi. Saya senang. Tinggal Borobudur! Sampai jumpa besok ya.. Makkur mengantar kami ke penginapan. Setelah bersih-bersih aku, Gege, Ika dan Pinka naik ke tempat tidur. Aku sama Gege masih ngobrol-ngobrol (sama Ika juga ga ya? Aku lupa soalnya dia tukang tidur) Kalo Pinka udah tidur beneran. Tapi, sebenarnya saya juga lupa ngomongin apa saja. Soalnya udah ngantuk. Saya bahkan lupa, kapan obrolan itu berakhir... Zzzz..

Sabtu, 25 Mei 2013

Harus bagun pagi biar nanti ga kejebak macet menuju Borobudur. Pinka mandi paling dulu. Pinka bangun pukul 05.00. Saya merasa tersindir. Kenapa anak kos bangun lebih dulu??? TIDAK MUNGKIN!! *lebay*
Pukul 07.00 kurang Makkur tiba di penginapan kami. Setelah itu langsung capcus (apa ini?) ke kos an Vania, teman Ika dari Bogor tapi kuliah di UGM, sama kaya Makkur. Vania juga kenal Makkur. Dari kos Vania kami berangkat ke Magelang. Awalnya agak awkward sama Vania, tapi lama-lama suasana cair dan kita bisa tertawa bareng, ngegosipin orang-orang di Borobudur, main ABC 5 Dasar, makan bersama dan ngantri-ngantri ria di tengah hujan deras.

Sebelum ke Borobudur kami mampir ke rumah makan Cinde Laras, rekomendasi dari Vania. Makanannya enak. Saya suka. Harganya juga terjangkau. Aku makan mangut Lele + nasi. Begitu juga Gege dan Makkur. Vania dan Pinka makan mangut lele tanpa nasi. Ika beda sendiri. Dia makan pecel + tempe bacem + nasi. Tadinya mau makan mangut yang lain (kata Vania, mangut yang ini terbuat dari ikan-ikan kecil). Tapi, mangut yang ini lagi kosong. Yaudah, akhirnya makan mangut lele saja. Jadi mangut lele ini terbuat dari ikan lele yang digoreng plus kuah kuning. Ada pete dan cabe rawit berukuran raksasa (bukan cabe rawit biasa. Beda dengan cabe rawit yang dikasih gratis sama abang-abang gorengan). Cabe yang ini warnanya oranye. Tapi karena cabe ini masih  utuh, jadi tidak pengaruh ke rasanya.

Setelah makan kami melanjutkan perjalanan. Kami terlibat pembicaraan seru. Sepanjang jalan ngobrol terus. Ada aja yang diomongin. Mulai dari seorang Bapak dari Sidoarjo (atau kota lain?) yang berjalan kaki ke Jakarta untuk menunjukkan aksi protes ke Aburizal Bakrie. Begitu sampai Jakarta Bapak ini nginap di Kontras. Eh, besoknya si Bapak tiba-tiba hilang dan muncul di TV One. Bapak ini minta maaf ke Aburizal Bakrie dan percaya bahwa ARB mampu menyelesaikan semua masalah. Pinka tau cerita ini dari sebuah film dokumenter yang diputar di kampus. Aku juga tau sih, dari cerita teman tapinya.

Aku banyak nanya-nanya jalan ke Makkur dan Vania. Maklum, itu pertama kalinya aku (bebas) jalan-jalan di Yogya. Sebelumnya, pas SMA pernah ke Yogya juga, tapi hanya sebentar dan tempat yang dikunjungi pun tidak banyak, hanya Maliobor dan sejenis Keraton, di dalamnya ada pemandian. Saya lupa namanya.

Tiba di kawasan candi Borobudur kami menyewa sepeda. Tadinya, mau ikut prosesi waisak mulai dari candi Mendut, tapi karena terlalu beresiko, resiko macet dan tidak dapat parkir, kami pun memutuskan langsung ke Borobudur. Di sana kami menyewa sepeda (harganya lebih mahal daripada naik kereta, tapi lebih santai). Ika tandem sama Makkur, Pinka sama Gege. Aku dan Vania bawa sepeda masing-masing. Seru banget!! Meskipun panas tapi saya sangat menikmati. Panasnya ga sepanas di Depok, soalnya. Di sebuah (halte) kami santai-santaidulu, ngaso-ngaso dan foto-foto. Entah siapa yang memulai, tiba-tiba topik mengenai 'ices' muncul. Saking hot-nya Makkur sampai kepo-in akun facebook ices ini. Saya ketawa-ketawa aja sih, agak jahat tapi mau gimana lagi, kocak. Paling ga, dia masih diingat lah ya, walaupun karena ke'kocak'annya.

Puas ketawa-ketiwi kami mengayuh sepeda mendekati candi. Sepeda Gege bermasalah. Rantainya lepas. Saya balik lagi bantu mereka memperbaiki rantai. Untung gue mantan anak sepeda! *sombong*.
Semakin mendekati candi, saya semakin tidak sabar. Penasaran gimana sih isi candi Borobudur yang terkenal ini? Wuih, tangganya banyak! Saya kagum dengan pekerja yang membangun candi ini. Bagaimana caranya mereka mampu mengangkat batu-batu, yang ukuran terkecilnya sebesar kepala saya, ke tempat setinggi ini? Keren!! Saya terpesona!! Saya akan selalu terpesona!!
Relief nya benar-benar bercerita. Saya hanya mereka-reka ceritanya berdasarkan sejarah agama Budha dan Sidharta Gautama yang saya pelajari waktu SMP dan SMA. Banyak hal yang saya sayangkan. Di spot-spot yang bagus tiba-tiba ada papan "Dilarang buang sampah sembarangan". Peringatan ini ganggu banget sih. Salah. Bukan peringatannya, tapi letaknya itu loh. Ada akibat pasti ada sebab. Sebabnya apa lagi kalau bukan kelakuan pengunjung yang membuang sampah sembarangan. Gak mungkin petugasnya membuang sampah di sana kan? Mungkin aja sih biar ada kerjaan. *semoga ini hanya imajinasi saya saja*

Lagi asik-asiknya membaca relief tiba-tiba cerita terputus karena letak batu yang tidak sesuai. Kepala, tangan, pinggang ke bawah, pinggang ke atas, dll hilang atau mungkin barada di bagian lain. Ada beberapa batu yang hanya gambar kaki, atasnya batu polos. Sedih. Mungkin ini terjadi ketika proses perbaikan. Borobudur memang sudah mengalami kerusakan-kerusakan sehingga bati-batunya harus disusun ulang. Akan tetapi, seharusnya di susun dengan benar. Jangan acak-acakan. "Karena bukan lu yang ngerjain. Batunya berat tau!!", batin saya. Iya sih. Sayang banget..

Puas mutar-mutar, baca relief, foto sana sini, dan bersyukur untuk candi hebat ini kami turun dan duduk-duduk sambil memperhatikan pengunjung lain. Tingkah mereka membuat saya bingung. Ada yang naik-naik dan duduk manis di stupa. Padahal petugas sudah mewanti-wanti agar tidak naik, duduk atau menyentuh bangunan candi. Bahkan ada seorang ibu, yang sedang hamil atau memang berbadan besar, sedang duduk santai berjemur di atas bangunan candi.  Ada lagi seorang ibu yang meminta anaknya naik ke candi dan bergaya sebagai objek foto sang ibu. Lalu, ada sekelompok orang yang dengan santai berjalan melintasi rumput yang jelas-jelas sudah dipasangi tali penghalang agar tidak dilewati. Saya gerah dan kesal dengan pemandangan ini. Saya datangi mereka dan meminta agar lain kali mereka jalan memutar dan tidak menginjak rumput.

Sejak pukul 18.00 kami sudah menunggu tepat di depan paggung berisi altar pemujaan. Hujan sudah turun. Kami duduk menunggu para Biksu dan Biksuni memasuki area pemujaan. Sejam berlalu, tidak terlihat gerakan selain gerak para pengunjung yang mulai bosan dan mengeluh karena acara ngaret dari waktu yang ditetapkan di rundown yang beredar di jejaring sosial. Sejam lagi berlalu tanpa tau apa dan siapa yang kami tunggu. Padahal para Biksu sudah berada di altar. Mereka menggunakan payung untuk menghala hujan. Akhirnya, yang ditunggu-tunggu pun datang. Menteri Agama, Gubernur Jawa Tengah, petinggi kepolisisan stempat, dll. Sontak para pengunjung berteriak ketika orang-orang penting ini memasuki area pemujaan. Acara segera dimulai dengan sambutan-sambutan dari Menteri Agama, Gubernur Jawa Tengah dan diikuti oleh acara inti, yaitu doa dari Biksu dan perarakan mengitari candi Borobudur.
Acara sambutan tidak lepas dari teriakan pengunjung karena lama-lama banget. Acaranya sudah telat, hujan pula, saya pikir sebaiknya mereka mempersingkat kata sambutan. Udah gitu, habis sambutan mereka langsung pulang lagi. Gak sopan sih. Datang telat, pulang duluan. Menurut saya, bukan hanya pengunjung yang kalap yang tidak menghormati acara ini. Para Bapak dan Ibu pejabat pun menunjukkan sikap yang salah. Acara telat kan karena menunggu mereka. Tapi, ya sudahlah.


Jejaring sosial dan media-media online memberitakan kekacauan yang terjadi. Sebagian besar menyalahkan pengunjung yang memang salah. Ketika perarakan sudah dimulai beberapa pengunjung langsung naik ke panggung dan mengambil foto para Biksu yang sedang berdoa. Bagaimana kalau mereka ada pada posisi itu. Misal, lagi sholat di masjid atau lagi ibadah di gereja, lalu diganggu oleh orang-orang yang sedang 'liburan' dengan suara dan lampu kamera.

Mendekati pukul 21.00 pengunjung termasuk kami mulai bergerak ke stand pendaftaran lampion. Sebagian besar ingin meminta kembali uang yang sudah diberikan ketika pendaftaran dua jam sebelumnya. Panitia memang memberikan pilihan, uang dikembalikan atau pengunjung bisa menitipkan lampionnya dan panitia akan menerbangkan lampion bila hujan sudah reda. Lampion itu terbuat dari kertas. Kena air sedikit saja akan rusak. Kami memutuskan untuk mengambil uang kembali. Meskipun acara menerbangkan lampion tidak jadi, tapi saya bersyukur bisa mengikuti sebagian kecil prosesi waisak yang sarat dengan pesan-pesan universal. Saya kagum dengan mereka, yang meskipun hujan besar dan gangguan dari pengunjung, tetap setia dan menjalankan ibadah. Mereka bersyukur untuk hujan yang turun malam itu. Untuk berkat yang dicurahkan atas mereka. Saya mendapat apa yang saya cari. Bukan lampionnya. Tapi, pesan untuk direnungi. Selalu bersyukur untuk semua hal, baik suka atau duka, karena kelak aku akan tau suka dan duka akan membuatku kuat. Terdengar klise, tapi itulah hidup. Rintangan itu ibarat koma. Aku perlu koma untuk menarik nafas dan mempersiapkan diri untuk membaca rangkaian huruf berikutnya. Kalau hidupku tanpa kerikil, aku akan terus berlari dan lupa caranya berhenti. Untuk menikmati yang sudah ada saat ini.

 https://mail-attachment.googleusercontent.com/attachment/u/0/?ui=2&ik=3c0de18fdd&view=att&th=13f058d48db52bba&attid=0.1&disp=inline&safe=1&zw&saduie=AG9B_P9wAXKRVdSlNtoetODPyXIO&sadet=1370879749815&sads=ghjg9GuNlCvBpETYeFGs3Mfrue0&sadssc=1

Mengingat kekacauan yang terjadi, mngkin tahun depan panitia acara Waisak perlu memperjelas beberapa hal. Seperti, apakah acara ini terbuka atau tertutup untuk umum. Saya perhatikan semua petinggi (baik agama maupun negara) tidak me-mention pengunjung non Budha dalam sambutan mereka. Apa mereka tidak tau kalau tidak semua pengunjung beragama Budha? Ini memang acara keagamaan umat Budha, tapi mereka juga harusnya tau tentang pengunjung lain, sehingga mereka bisa mempersiapkan segala sesuatunya. Kalau acara ini khusus untuk umat Budha, tutup saja kawasan Borobudur untuk hari itu. Seperti ketika umat Hindu di Bali merayakan Nyepi. Kalau memang terbuka untuk umum, berikan tata acara yang benar. Apa yang harus dilakukan. Kalau memang niatnya baik, pasti pengunjung tidak akan keberatan.


Ketika urusan uang sudah selesai, kami memutuskan untuk pulang bertepatan dengan perarakan pertama. Hujan turun tanpa henti. Benar-benar berkah yang terus mengalir. Kami sempatkan membeli T-shirt untuk mengganti baju yang basah. Pelajaran penting untuk perjalanan selanjutnya adalah jangan memakai pakaian basah. Itu pertama kalinya gue memakai pakaian basah selama 3jam-an. Badan gue sampai ga bisa gerak. Semacam membeku.

Kami mengantarkan Vania ke kosan lalu lanjut ke penginapan untuk ganti baju. Habis itu kita ke cafe apa gitu (lupa namanya) mau nonton final champion dan makan. Di sinilah dua peristiwa epik itu terjadi. Pertama, saya, Ika dan Gege memesan cokelat panas. Nah, di cangkir mereka berdua ada gambar hati. Terus, punya gue cuma ada gambar blunderan, bentuk spiral sih. Atau bulatan doang? Entahlah, yang penting itu bikin gue bertanya-tanya. "Yang punya Mba ini, abstrak, seni," jelas si Mas. Saya hanya -___________- Speechless gue. Okelah Mas, matur nuwun. Itu cokelat paling berseni yang pernah saya minum. Ika, Gege dan Makkur ngetawain gue dong. Terus, gue cuma diam.

Kedua, ketika Champion selesai (Dortmund vs Munchen 1:2) makan pun selesai. Saya makan bakmi goreng yang pedaaaaaassssss banget.  Nah, si Makkur ini lupa naro kunci mobil dimana. Dia nyari-nyari dan ternyata kuncinya ketinggalan di mobil. Entah karena apa, yang jelas gue tiba-tiba manggil dia dengan "Marco". Ika dan Gege ngakak. Gimana caranya coba. Dari Makkur jadi Marko. Ini udah paling jauh lah.. Masih mending Gege, panggil dia Mattur. Nah ini, Marko. Main ganti nama orang.
Setelah itu kami pulang. mandi dan tidur. (04.30 WIB)

Minggu, 26 Mei 2013

Hari terakhir di Yogya...

Kami bangun pukul sepuluh-an.  Aku lupa Pinka nyampe jam berapa soalnya malemnya dia nginap di hotel tempat mama-papanya nginap. Kebetulan mereka lagi di Yogya juga, jadi Pinka bermalam di hotel mereka dan baru pulang ke penginapan kami minggu pagi.

Setelah bersih-bersih, packing, foto-foto dikit, Makkur dan adiknya nyampe. Puput, adeknya Makkur ikut jalan-jalan hari itu. Asiklaaah, jadi ramai. Puput sama kayak kakaknya, asik dan ramah. Setelah check out kita lanjut ke galerinya Affandi.

 


 
Saya ga ngerti-ngerti banget mengenai lukisan, tapi sebagai awam saya sangat menikmati. Lukisan-lukisan yang dipajang di sana KEREN BANGET!!! serius. Galerinya juga keren. Bentuknya seperti daun. Eh, setiap tiket masuk free minum loh.

Waktunya pulaaanngggg!!! Beli gudeg dulu deh untuk bekal. hahah...

Sampai jumpa lagi Yogya dan gudeg juga. I'm in love with you at the first bite.

*kisah gege ga jd gue ceritain. Belum ijin. hehe*