Rabu, 30 Januari 2013

Ayah

Saya anak kedua dari lima bersaudara. Ibu saya bekerja sebagai guru di sebuah sekolah dasar di kampung kami. Sebuah kampung kecil yang terletak di provinsi Sumatera Utara, bernama Sihikkit. Ayah saya bekerja sebagai... apa ya? tidak jelas sih, namun sejak 3 tahun lalu beliau merupakan kepala desa di desa kami.

Ayah.
Bapa, beginilah kami memanggil ayah. Kalau dilihat dari Bahasa Indonesia dan agama Katolik, kata tersebut mengacu ke Tuhan, karena begitulah kami, penganut agama Katolik memanggil Tuhan dalam bahasa Indonesia. Jika dihubung-hubungkan, mungkin kami memang menganggap ayah sebagai Tuhan. Ya, Tuhan yang terlihat. Masalahnya Tuhan yang ini sangat jauh dari hakikat Tuhan yang saya percayai yaitu, sempurna.

Bapa.
Dalam bahasa Batak seharusnya kami memanggil bapa dengan sebutan amang, pasangannya adalah Inang. Bapa dan ibu serta generasi di atas mereka memanggil ayah mereka dengan amang. Akan tetapi, kami tidak menggunakan kata panggilan itu lagi. Mungkin karena kami sudah lahir di jaman yang lebih keren, sehingga menganggap bahasa tradisional itu tidak layak digunakan dalam bahasa sekarang. Mungkin ppikiran seperti ini merupakan pandangan orang tua kami. Buktinya, mereka tidak mengajarkan kami agar memanggil mereka sebagai Amang dan Inang.

Bapa.
Saya jarang menghabiskan waktu dengannya. Aktifitas bersama yang saya ingat hingga hari ini hanya satu, yaitu ketika Bapa mencari kutu saya, setelah itu saya mencari ubannya dengan menggunakan sebutir padi. Saya ingat, ketika setiap helai uban dihargai seratus rupiah dan uangnya akan diberikan pada hari Minggu. Uang itu saya gunakan untuk jajan setelah misa anak-anak di gereja selesai.

Saya pernah bersembunyi di lumbung padi Oppung (nenek dan kakek dipanggil Oppung, hanya saja untuk lebih jelas, nenek dipanggil Oppung Boru dan kakek dipanggil Oppung doli) hingga seharian lamanya. Kejadiannya berawal ketika saya selesai mencuci piring. Piring-piring tersebut terbuat dari bahan-bahan yang mudah pecah. Sebelumnya memang sudah disuruh sebaiknya piring-piring tersebut dicuci di rumah saja. Akan tetapi, saya membantah. Akhirnya, saya mencuci piring-piring itu di pancuran. Tempat saya dan teman-teman sebaya mendi, ketika air sungai meluap. Tiba di rumah tidak seorang pun yang bisa membantu saya menurunkan ember berisi piring-piring dari kepala saya. Saya pun berusaha sendiri dan tangan saya tidak cukup kuat mengangkat ember tersebut (saat itu saya masih kecil, lupa umur berapa). Alhasil, embernya jatuh. Saya takut nanti akan dimarahi. Saking takutnya, saya pun menangis dan lari ke rumah Oppung. Kebetulan di sana juga tidak ada orang. Saya pun naik ke atas lumbung padi dan bersembunyi di balik keranjang dan karung-karung berisi padi. Karena kelelahan, saya ketiduran dan terbangun ketika hari sudah malam. Saya pikir, Bapa pasti akan marah. Beliau mungkin sudah menyiapkan senjata andalannya bila ingin memarahi kami, yaitu tiga buah lidi panjang lalu dikepang dan masing-masing ujungnya diikat dengan karet gelang. Memikirkan itu, membuat saya semakin takut. Oppung mengantarkan saya pulang ke rumah. Jauh dari perkiraan, Bapa ternyata tidak marah. Beliau malah menarik saya ke pangkuannya dan memeluk saya. Katanya, ia bangga pada saya karena sudah mau mencuci piring meskipun masih kecil. 

Bapa.
Sejak usia 13,5 tahun saya sudah tidak tinggal bersamanya, karena saya pindah dan melanjutkan sekolah menengah di Depok. Saya sekolah di sebuah SMP Negeri dan tinggal di rumah Tulang (adik laki-laki dari ibu) saya. Sejak itu, hubungan saya dan ayah mulai jauh. Waktu itu, telepon dan handphone belum bisa digunakan di kampung saya. Jadi, kalau saya kangen,  yang bisa saya lakukan hanya menunggu Bapa atau Uma menelpon dari wartel.
Selama saya jauh dari Bapa, beliau selalu berusaha membuat saya tenang. "Kalau perlu uang bilang saja,. nanti kami kirim". Padahal saya tahu, uang mereka juga pas-pasan. Anak mereka kan bukan hanya saya. 

Bapa.
Saya sering tidak menyukainya. Ada kebiasaan-kebiasaan buruknya yang sangat saya benci. Saya membencinya. Tidak peduli, ketika semua orang sudah memintanya untuk berhenti, ia tetap melakukan itu. Saya takut, hal yang buruk akan menimpanya bila ia tidak berubah. Saya berdoa agar suami saya, suami kakak dan adik saya tidak memiliki sifat buruk sepertinya. Pernah ia menyakiti hati saya, padahal sejak kepindahan saya ke Depok kami hanya bertemu sekali setiap dua tahun. Saya belum melupakan itu, ketika ia menyakiti hati saya dengan mengatakan sesuatu yang dua hari sebelumnya sudah saya katakan, bahwa saya tidak ingin mendengar siapa pun di rumah menguapkan kata-kata buruk seperti itu. Akan tetapi, di hari saya melakukan sebuah kesalahan denga mudah dan berulang-ulang ia mengucapkan kata-kata itu. Saya sakit hati dan kami berhenti bicara satu sama lain. Saya memilih menelpon Uma dan menyampaikan keperluan dan apa pun kepada Uma. Ketika saya hrus berbicara dengan Bapa, saya hanya menjawab tanpa bertanya sedikit pun. Hati saya panas dan sakit bila mengingat kejadian itu. Ketika saya terlambat menjemput Bapa dan Uma lalu ia mengatakan kata-kata yang jahat seperti itu, sebagai palampiasan untuk kemarahan dalam hatinya. 

Saya tidak tahu, apakah ia Bapa yang baik buat saya?  atau karena saya menuntut terlalu banyak darinya, hingga semua hal-hal baik yang ia lakukan tidak meninggalkan bekas di hati saya? Saya menyayangi Bapa, hanya saja sikap-sikap buruknya menghalagi pandangan saya dan mengaburkan rasa sayang saya padanya. Saya yakin Bapa juga menyayangi saya, namun kami memiliki sifat yang sama, gengsi. Kami gengsi menunjukkan rasa itu. Untuk menyatakannya mungkin agak susah karena kami tidak terbiasa mengatakan hal-hal melankolis seperti itu.

Apa pun yang terjadi, jauh di dalam lubuk hati saya, saya tetap menyayangimu Bapa. Hanya saja, sifat-sifat buruk kita menutupi rasa itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar