Rabu, 12 Juni 2013

Aku dan pikiranku

Aku dengar mereka mau main bersama. Bukan hanya mereka berdua, tapi kawan-kawan yang lain juga. Wah, sepertinya seru tuh. Boleh ikut tidak ya? Eits, sebelum ikut-ikutan ada baiknya cek-cek 1,2,3 dulu. Mereka mau kemana? Sama siapa saja? Apa yang akan mereka lakukan dan kapan?

Ah, iya. Sayang sekali. Ternyata mereka tergabung dalam sebuah kelompok dan namaku tidak tercantum dalam daftar hadir mereka. Dulu memang namaku pernah kutulis di sana, sebelum akhirnya aku keluar karena wajahku akan berubah menjadi seperti mayat hidup setiap kali berhadapan dengan pemimpin mereka. Jangankan dalam acara kelompok, berpapasan di pinggir jalan pun aku enggan menyunggingkan senyum. Untukku, dia seorang pelawak gagal.

Akan tetapi, tidak untuk mereka. Mereka melihatnya seperti dewa, apalagi ketika dia sedang menutup mulut dan berdiri tegap  menyamping, lengkap dengan kemeja, jeans, dan sepatu hitam andalannya. Mereka memujanya. Membicarakannya terus menerus dan saling menimpali bila topik mengenai dia muncul. Jangan melirikku dengan sudut matamu yang hampir membuatku membeku. Jangan kau pikir aku aneh karena pikiranku tentang dia berbeda dengan mereka. Ada baiknya kau dengarkan mereka.  Bagi kawan-kawan ini, dia hanyalah objek. Bahan untuk diangkat lalu dihempaskan, dicela, diejek dan diinjak-injak oleh rangkaian kata yang berloncatan dari mulut yang kepanasan. Haha, kasihan dia.

Aku tidak mau. Aku putuskan lari dari kelompok di hari pertama dia masuk. Itulah yang kulakukan. Aku urungkan niatku. Aku tidak mau main bersama mereka. Terlalu susah untukku seolah-olah menikmati padahal tidak.

Dan, mereka berdua akan bertemu di sana. Mereka akan menyendok nasi dari satu bakul, duduk di atas satu tikar, mungkin, mereka akan duduk berhadapan. Apakah mereka akan saling menyapa? Siapa yang memulai? Aku penasaran setengah mati. Bagaimana mereka berdua mengakhiri konflik itu dan bergabung dalam satu kelompok pecinta seorang pelawak gila?? Oh Tuhan, kau benar-benar pintar memainkan kami.

Kawanan lain dalam kelompok memainkan peran masing-masing. Lupakan kalau mereka berdua pernah saling membenci. Lupakan itu! Jangan pernah ada mulut yang ingin bernostalgia ke masa itu. Jangan. Kita hanya harus mengunyah makanan dan menggosipi dewa kita. Pandangan kita tidak boleh tertuju pada mereka berdua. Mereka mungkin akan merasa dicurigai. Meskipun sebenarnya kita juga penasaran setengah mati, tapi kita harus menguburnya. Kita akan tanyakan pada salah satu dari mereka berdua setelah kelompok ini mati. Mati?? Jangan pura-pura bodoh. Kau dan aku. Kita tahu suatu hari kelompok ini akan mati. Semua yang dibangun di atas dusta akan mati. Kita juga kan?

&&&

Setelah semua yang terjadi. Mereka berdua kembali. Setelah seonggok daging berhati picik sempat mengacaukan mereka?? Ya. Aku kagum. Sikapku berlebihan. Siapa aku mencemaskan mereka berdua? Mungkin kisah pahit itu sudah hilang bersama hilangnya seonggok daging berhati picik. Tuhan saja tidak mengkhawatirkan mereka. Buktinya, mereka dilukis dalam satu pigura. Makan, main, tertawa dan gossip. Tetapi, bisa saja mereka berpura-pura, siapa yang tahu hati manusia??

Bagaimana denganmu? Apa yang kau lakukan ini? Kau kan tidak tahu isi hati mereka berdua. Kau mengacaukan hidupmu dengan membuat hidup orang lain kacau, walau hanya dalam kepalamu yang sama kacaunya. Hahahaha, kau bodoh. Hentikan mencemaskan hidupmu dan hidup mereka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar